HELLO FELLAS

HELLO FELLAS

Jumat, 16 Maret 2018

Potret Diskriminasi Gender di Timika

Ilustrasi Gambar

Berbicara terkait gender, sudah tidak asing lagi bagi pendengaran kita, namun masih ada segelintir orang yang belum mengetahui dan memahami arti gender begitu dalam. Bahkan, cenderung dari mereka menyamaratakan gender dengan seks. Apabila ditinjau lebih dalam, bahwasanya gender dan seks merupakan suatu kesatuan yang sangat berbeda. Berdasarkan pengertian, gender merupakan pembagian peran serta tanggung jawab baik lelaki maupun perempuan yang diterapkan masyarakat maupun budaya berdasarkan konstruksi sosial, sedangkan seks merupakan pembagian jenis kelamin yang telah ditentukan oleh Tuhan atau juga disebut sebagai kodrat Tuhan.
Berdasarkan penjelasan diatas, sudah sangat terlihat bahwa gender dan seks, berbeda. Seks merupakan kodrat Tuhan, sedangkan gender merupakan konstruksi sosial (buatan masyarakat). Seks, tidak bisa dirubah dan tidak bisa dipertukarkan sehingga berlaku sampai sepanjang masa, sedangkan gender bisa dirubah dan bisa dipertukarkan tergantung musim dan budaya masyarakat setempat.
Selanjutnya, gender di era sekarang atau bahkan era sebelumnya, gender merupakan kasus yang sangat menarik untuk di telusuri, hal ini dikarenakan perbedaan gender baik lelaki maupun perempuan yang telah di kontruksi sosial melahirkan peran gender, sehingga menimbulkan ketidakadilan ataupun diskriminasi. Salah satu contoh bentuk diskriminasi gender bagi kaum perempuan ialah tidak boleh menjadi manajer atau pekerja keras, hal ini dikarenakan konstruksi sosial bahwa perempuan merupakan makhluk yang lembut, keibuan dan bersifat emosional, sedangkan diskriminasi gender bagi kaum lelaki ialah tidak pantas berada di dapur (memasak).
Ilustrasi Gambar
Contoh lainnya ialah pada kasus di tanah Papua, tepat di tanah Amungsa, Kabupaten Timika, Provinsi Papua. Potret diskriminasi gender ini bermula pada saat PT. Freeport Indonesia masuk dan melakukan eksploitasi tembaga dan emas tahun 1967. Selama lebih dari 30 tahun penduduk asli di sekitar Timika, menerima dampak buruk dari aktivitas penambangan. Perampasan tanah, pencemaran lingkungan dan perusakan alam, kekerasan oleh militer, politik adu domba oleh Freeport, serta diskriminasi gender.
Dari banyaknya potret diskriminasi, kaum perempuan lah yang sering mengalami diskriminasi gender, diantaranya:
1.  Akibat adanya Freeport, perempuan Timika yang memiliki tugas tradisional sebagai kepala posisi ekonomi keluarga terpaksa harus mengambil jarak berkilo-kilo meter lebih jauh untuk mendapatkan tanaman dan hasil kebun untuk makan sehari-hari, bahkan untuk mengambil alih. Hal ini mengakibatkan beban kerja (burden) perempuan Timika menjadi sangat berat. Beban perempuan Timika bisa digambarkan dengan banyaknya noken (tas tradisional papua) yang dibawa sehari-hari. “kalau kamu mau tahu beban hidup kami, lihat lima noken yang kami bawa sehari-hari, 1 noken membawa sayur dan ubi untuk makan dirumah, satu untuk membawa kayu api, satu membawa anak, satu membawa babi untuk dijual ke pasar, dan satunya lagi membawa sayur dan ubi untuk dijual ke pasar,” kata seorang perempuan ddi Timika, akhir 1998.
2.  Kekerasan (violence) terhadap perempuan Timika meningkat akibat adanya Freeport. Industri pertambangan adalah industri yang penuh dengan laki-laki kasar dan keras. Perilaku pekerja pertambangan seperti minum alkohol dan belanja seks, menyeret laki-laki Timika ke dunia alkohol dan belanja seks pula. Bagi perempuan Timika situasi ini semakin menarik mereka dalam malapetaka berkepanjangan. Setiap hari kerja laki-laki hanya mabuk dan main perempuan. Pemukulan terhadap istri menjadi pemandangan sehari-hari, seolah-olah tidak peduli dengan beban istri yang harus menghidupi seluruh keluarga. Terutama pada saat istri hanya mendapatkan uang sedikit atau bahkan tidak mendapatkan uang sepeserpun. Selain itu bentuk kekerasan, seperti pembantaian dan pemerkosaan juga terjadi dari aparat militer kepada perempuan dan anak-anak. Tercatat bentuk kekerasan tersebut sudah dilakukan selama 22 tahun, sekitar tahun 1976 hingga 1998.
3.  Kaum perempuan Timika kerap kali mendapatkan marginalisasi akibat pertambangan Freeport berlangsung. Diantaranya kepentingan perempuan Timika selalu diabaikan, bahkan kedudukan perempuan Timika dianggap tidak sebanding dengan kedudukan laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Salah satunya ialah pada saat dikuncurkannya dana 1% keuntungan Freeport bagi penduduk asli. Dalam tradisi masyarakat asli, laki-laki sebagai pemimpin keluarga, maka laki-laki pulalah yang berhak menerima dana 1%.
4.  Posisi perempuan sebagai kedudukan kedua setelah kaum lelaki Timika, memberikan dampak tidak leluasanya perempuan untuk ikut berunding dan mengambil keputusan. Dalam tradisi suku Amungme, perempuan hanya berhak mengajukan usul lewat suami atau saudara laki-lakinya. Gereja pun demikian, dalam tradisi keagamaan pemimpin keluarga adalah laki-laki, karena itu pula pengambilan keputusan berada di tangan laki-laki. Hal itu menyebabkan perempuan tersubordinasikan oleh kebudayan dan tradisi setempat.
5.  Labeling dengan pandangan bias dalam pengambilan keputusan pun juga terjadi di Timika. Pandangan bias ini ialah hanya laki-laki sajalah yang hadir dalam pengambilan keputusan, dan laki-laki hanya mengundang laki untuk melakukan pembebasan tanah. Serta labeling kedudukan perempuan yang hanya berada di posisi kedua, sebagai bentuk tradisi patriarki. Salah satunya ialah pengurus inti LEMASA (lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme) tidak ada perempuan yang meduduki jabatan penting.

0 comments:

Posting Komentar