![]() |
Ilustrasi Gambar |
Berbicara
terkait gender, sudah tidak asing lagi bagi pendengaran kita, namun masih ada
segelintir orang yang belum mengetahui dan memahami arti gender begitu dalam.
Bahkan, cenderung dari mereka menyamaratakan gender dengan seks. Apabila
ditinjau lebih dalam, bahwasanya gender dan seks merupakan suatu kesatuan yang
sangat berbeda. Berdasarkan pengertian, gender merupakan pembagian peran serta
tanggung jawab baik lelaki maupun perempuan yang diterapkan masyarakat maupun
budaya berdasarkan konstruksi sosial, sedangkan seks merupakan pembagian jenis
kelamin yang telah ditentukan oleh Tuhan atau juga disebut sebagai kodrat
Tuhan.
Berdasarkan penjelasan diatas,
sudah sangat terlihat bahwa gender dan seks, berbeda. Seks merupakan kodrat
Tuhan, sedangkan gender merupakan konstruksi sosial (buatan masyarakat). Seks, tidak
bisa dirubah dan tidak bisa dipertukarkan sehingga berlaku sampai sepanjang
masa, sedangkan gender bisa dirubah dan bisa dipertukarkan tergantung musim dan
budaya masyarakat setempat.
Selanjutnya, gender di era sekarang atau
bahkan era sebelumnya, gender merupakan kasus yang sangat menarik untuk di
telusuri, hal ini dikarenakan perbedaan gender baik lelaki maupun perempuan
yang telah di kontruksi sosial melahirkan peran gender, sehingga menimbulkan
ketidakadilan ataupun diskriminasi. Salah satu contoh bentuk diskriminasi
gender bagi kaum perempuan ialah tidak boleh menjadi manajer atau pekerja
keras, hal ini dikarenakan konstruksi sosial bahwa perempuan merupakan makhluk
yang lembut, keibuan dan bersifat emosional, sedangkan diskriminasi gender bagi
kaum lelaki ialah tidak pantas berada di dapur (memasak).
![]() |
Ilustrasi Gambar |
Contoh
lainnya ialah pada kasus di tanah Papua, tepat di tanah Amungsa, Kabupaten
Timika, Provinsi Papua. Potret diskriminasi gender ini bermula pada saat PT.
Freeport Indonesia masuk dan melakukan eksploitasi tembaga dan emas tahun 1967.
Selama lebih dari 30 tahun penduduk asli di sekitar Timika, menerima dampak
buruk dari aktivitas penambangan. Perampasan tanah, pencemaran lingkungan dan
perusakan alam, kekerasan oleh militer, politik adu domba oleh Freeport, serta
diskriminasi gender.
Dari banyaknya potret diskriminasi, kaum
perempuan lah yang sering mengalami diskriminasi gender, diantaranya:
1. Akibat
adanya Freeport, perempuan Timika yang memiliki tugas tradisional sebagai
kepala posisi ekonomi keluarga terpaksa harus mengambil jarak berkilo-kilo
meter lebih jauh untuk mendapatkan tanaman dan hasil kebun untuk makan
sehari-hari, bahkan untuk mengambil alih. Hal ini mengakibatkan beban kerja (burden) perempuan Timika menjadi sangat
berat. Beban perempuan Timika bisa digambarkan dengan banyaknya noken (tas
tradisional papua) yang dibawa sehari-hari. “kalau kamu mau tahu beban hidup
kami, lihat lima noken yang kami bawa sehari-hari, 1 noken membawa sayur dan
ubi untuk makan dirumah, satu untuk membawa kayu api, satu membawa anak, satu
membawa babi untuk dijual ke pasar, dan satunya lagi membawa sayur dan ubi
untuk dijual ke pasar,” kata seorang perempuan ddi Timika, akhir 1998.
2. Kekerasan
(violence) terhadap perempuan Timika
meningkat akibat adanya Freeport. Industri
pertambangan adalah industri
yang penuh dengan laki-laki kasar dan keras. Perilaku pekerja pertambangan
seperti minum alkohol dan belanja seks, menyeret laki-laki Timika ke dunia
alkohol dan belanja seks pula. Bagi perempuan Timika situasi ini semakin
menarik mereka dalam malapetaka berkepanjangan. Setiap hari kerja laki-laki
hanya mabuk dan main perempuan. Pemukulan terhadap istri menjadi pemandangan
sehari-hari, seolah-olah tidak peduli dengan beban istri yang harus menghidupi
seluruh keluarga. Terutama pada saat istri hanya mendapatkan uang sedikit atau
bahkan tidak mendapatkan uang sepeserpun. Selain itu bentuk kekerasan, seperti
pembantaian dan pemerkosaan juga terjadi dari aparat militer kepada perempuan
dan anak-anak. Tercatat bentuk kekerasan tersebut sudah dilakukan selama 22
tahun, sekitar tahun 1976 hingga 1998.
3. Kaum perempuan Timika kerap kali mendapatkan marginalisasi akibat pertambangan
Freeport berlangsung. Diantaranya kepentingan perempuan Timika selalu
diabaikan, bahkan kedudukan perempuan Timika dianggap tidak sebanding dengan
kedudukan laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Salah satunya ialah pada saat
dikuncurkannya dana 1% keuntungan Freeport bagi penduduk asli. Dalam tradisi
masyarakat asli, laki-laki sebagai pemimpin keluarga, maka laki-laki pulalah
yang berhak menerima dana 1%.
4. Posisi perempuan sebagai kedudukan kedua setelah kaum
lelaki Timika, memberikan dampak tidak leluasanya perempuan untuk ikut
berunding dan mengambil keputusan. Dalam tradisi suku Amungme, perempuan hanya
berhak mengajukan usul lewat suami atau saudara laki-lakinya. Gereja pun
demikian, dalam tradisi keagamaan pemimpin keluarga adalah laki-laki, karena
itu pula pengambilan keputusan berada di tangan laki-laki. Hal itu menyebabkan
perempuan tersubordinasikan oleh
kebudayan dan tradisi setempat.
5. Labeling dengan pandangan bias dalam pengambilan
keputusan pun juga terjadi di Timika. Pandangan bias ini ialah hanya laki-laki
sajalah yang hadir dalam pengambilan keputusan, dan laki-laki hanya mengundang
laki untuk melakukan pembebasan tanah. Serta labeling kedudukan perempuan yang hanya berada di posisi kedua,
sebagai bentuk tradisi patriarki. Salah satunya ialah pengurus inti LEMASA
(lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme) tidak ada perempuan yang meduduki
jabatan penting.
0 comments:
Posting Komentar