HELLO FELLAS

HELLO FELLAS

Sabtu, 17 Maret 2018

Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum (Artikel Bebas Ke-I Sosiologi Hukum)


     
Ilustrasi Gambar
3 Pilihan Kajian dalam Memandang Hukum
     1)      Kajian Normatif (analitis-dogmatis)
      Kajian ini memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum dilakukan antara lain pada ilmu hukum pidana positif, hukum tata negara positif, dan hukum perdata positif. Dengan kata lain, kajian ini lebih mencerminkan law in books. Dunianya adalah das sollen, apa yang seharusnya.
      Kajian hukum normatif ini lebih ditekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu atau norma yang dinyatakan dalam undang-undang. Metode yang digunakan untuk penelitian terhadap kajian ini adalah metode yuridis-normatif. Kajian normatif ini merupakan kajian yang sangat menentukan puncak perkembangan hukum sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai akibat kemajuan teknologi, industri, perdagangan dan transportasi, terjadilah kekosongan besar dalam perdagangan. Berdasarkan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat masif dan melahirkan suatu orde baru dalam tatanan yang tidak ada tandingannya. Hal inilah yang membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif, positivistik, dan legalistik.
Menurut Satjipto Rahardjo, metode normatif ini didasarkan pada hal di bawah ini.
1)   Ada penerimaan hukum positif sebagai suatu yang harus dijalankan
2)   Hukum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan (problem solving device)
3)   Partisipasi sebagai subjek yang memihak hukum positif
4)   Sikap menilai atau menghakimi anggota masyarakat, berdasarkan hukum positif.
      Kajian normatif terhadap hukum ini dapat dilihat dari hal-hal berikut, yaitu adanya infentarisasi hukum positif, penelitian asas hukum, menemukan hukum konkrit, adanya sistematika hukum, adanya sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan hukum serta sejarah hukum.


      2)   Kajian filosofis (Metode Transendental)
   Kajian ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal,yang seyoganya senantiasa menjadi rujukan dalam setaip pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian ini lebih diperankan oleh kajian filsafat hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam kajian hukum, karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom, melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Studi filsafat hukum ini telah berumur lebih dari ribuan tahun. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dari tatanan itu sendiri. Tatanan merupakan isi lain dari kehidupan bersama manusia, sebab manusia adalah makhluk tatanan.
      Filsafat hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum dan kebebasan, hukum dan kekuasaan. (mengenai teori hukum). Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti di bawah ini.
1.  Ontologi hukum merefleksikan hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental terkait, yaitu demokrasi, hubungan hukum dengan orang.
2.  Akseologi hukum merefleksikan isi dan nilai yang termuat dalam hukum, yaitu kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasab dan kebenaran.
3.   Ideologi hukum, yang merefleksikan wawasan manusia dan masyarakat yang melegimitasi hukum.
4.  Epistemologi hukum, yang merefleksikan sejauh mana pengetahuan tentang hukum dapat dijalankan.
5.      Teleologi hukum, yang merefleksikan makna serta tujuan dari hukum.
6.      Ajaran ilmu, yang merefleksikan kriteria keilmuaan ilmu hukum.
7.      Logika hukum, yang merefleksikan aturan berfikir dalam hukum.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah bagian dari filsafat umum. Oleh karena itu, setiap uraian tentang arti (definisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu titik tolak kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu filsafat secara umum.
Tujuan utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari hukum. Ini bararti, filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai tampilan atau menifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Karna itu, filsafat hukum, mengadaikan teori pengetahuan (epistemology) dan etika.

      3)  Kajian Empiris
      Kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup kenyataan social, kultur. Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari peralihan zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20, metode empiris ini lahir disebabkan karena metode atau kajian hukum secara normative, tidak lagi mendapat tempat. Pendekatan hukum melalui kajian empiris yang lahir di awal abad ke-20 ini bersamaan lahirnya dengan ilmu baru yang oleh A. Comte (1798-1857) diberi nama sosiologi. Olehnya, sosiologi disebut sebagai ilmu tentang tatanan sosial dan kemajuan sosial.
      Ketiga pendekatan terhadap hukum itu, merupakan langkah awal bagi kita (hamba hukum) untuk memahami apakah hukum itu? Berlainan dengan tiga pendekatan itu, namun masih memiliki karakteristik  yang sama, Achmad Ali dalam pidatonya ketika menerima jabatan guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, memberikan suatu pencerahan terhadap pendekatan hukum sebagai berikut.
      Pertama, beggriffenwissenchaft adalah ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang hukum, termasuk di dalamnya mata kuliah pengantar ilmu hukum, filsafat hukum, logika hukum, dan teori hukum.Kedua, Normwissenchaft adalah ilmu tentang norma, termasuk didalamnya adalah sebagian besar mata kuliah yang diajarkan fakultas-fakultas hukum di Indonesia, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Tata Negara. Ketiga, Tatsachenwissenchaft adalah tentang kenyataan hukum, termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Hukum & Masyarakat, Antropologi Hukum dan Psikologi Hukum.
      Dari berbagai macam pendekatan terhadap hukum tersebut di atas, hukum dapat dapat ditafsirkan sebagai sebuah konsep. Soetandyo Wigjosoebroto, mengatakan tak ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebut dengan hukum itu. Menurut pendapatnya, dalam sejarah pengkajian hukum, tercatat sekurang-kurangnya ada tiga konsep. Pertama, hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren system hukum alam. Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah positif yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasan politik tertentu yang berlegitimasi. Ketiga, hukum dikonsepkan sebagai institusi social yang riil dan fungsional dalam system kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan dalam proses pemulihan ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru.

      Menuju Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum
Abad ke-19 ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealitis. Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada abad ke-19 tersebut, telah menimbulkan semangat serta sikap kritis terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi. Kita mengetahui bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu baru telah berkembang. Ilmu ini nantinya akan mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman tradisional.
Pengaruh-pengaruh dari perubahan abad ke-19 menurut Satjipto Rahardjo, telah memberikan pengaruh terhadap cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai. Aliran sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstrak dan ideology kepada lingkungan social yang membentuk hukumnya. Pendekatan hukum pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mulai mendekatkan diri pada hukum dengan masyarakat.
Perubahan abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting bagi munculnya sosiologi hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan persoalan sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip kehidupan demokrasi. Kemapanan kehidupan pada abad ke-19 yang penuh dengan kemajuan di banyak bidang bukanlah akhir atau puncak peradaban manusia. Pada abad ini kodifikasi bukanlah akhir dari perkembangan kehidupan hukum.
Sosiologi hukum, merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan merupakan cabang sosiologi terpenting, yang sampai sekarang masih dicari perumusannya. Hingga saat ini, sosiologi hukum masih mempunyai batasan-batasan yang belum jelas, ahli-ahlinya belum mempunyai kesepakatan mengenai pokok persoalan tentang apa itu sosiologi hukum. Apa yang menyebabkan ilmu baru ini terhambat perkembangannya. Menurut penulis, karena ilmu baru ini, dalam mempertahankan hidupnya, harus bertempur di dua front. Sosiologi hukum menghadapi dua kekuatan, yakni dari kalangan para ahli hukum dan ahli sosiologi, yang terkadang keduanya bersatu untuk menggugat keabsahan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Perselisihan ini timbul, seperti yang telah dijelaskan oleh David N. Schiif, yang mengutip dari Aubert.

      Pemikiran Hukum secara Sosiologis
Bertolak dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat semenjak perang dunia II. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh hal dibawah ini.
1.    Profesi hukum, terutama para pengacara, ruang lingkup kerjanya kini semakin luas. Hal itu disebabkan karena pihak-pihak yang memerlukan pelayanan hukum semakin membesar jumlahnya, meliputi semua lapisan masyarakat (misalnya dengan bidang-bidang bentuan hukum).
2.    Hukum, yang bagi kebanyakan orang, tidak lebih daripada sekumpulan undang-undang atau peraturan-peraturan, kini telah berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru karena ilmu hukum kini telah dikembangkan menjadi lebih sistematis serta memiliki teknik penelitian, penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih rumit
Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, para ahli hukum akan bertemu dengan sejumlah permasalahan yang menuntut suatu cara analisis yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan tradisional. Dengan terciptanya beberapa hak tertentu dari beberapa kelompok, khusunya dalam masyarakat, hukum akan berkaitan erat dengan masalah-masalah hubungan antar bangsa, dengan konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan meningkatkan intervensi (ikut campurnya) pemerintah di dalam pengaturan tata kehidupan. Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu kesadaran diantara para ahli hukum ( kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai variasi dan tingkatan) terhadap kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam pelayanan-pelayanan, atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu hukum tradisional.
Hal tersebut di atas sudah lama dirasakan melalui pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan, dan ketertiban serta peraturannya, yang sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan itu muncul dari refleksi di kalangan akademik, yang mengatakan bahwa prespektif dan metosa studi ilmu sosial berlaku juga untuk menganalisis institusi hukum.
Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan yang sangat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembagannya. Tak ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti sebab perubahan-perubahan sosial, dipanggil untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat relevan dengan permasalahan hukum.
Hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini dapat dijadikan objek penelitian saintikfik (non-doktrinal). Hukum tidak lagi dijadikan penggarap untuk menyususn sistem normatif yang koheren belaka, dengan premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahan, atau dari sumber-sumber yang ranahnya normatif.
Ciri metode yang sangat jelas dalam penelitian non-doktrinal adalah menggunakan peran logika induksi untuk menemukan asas-asas umum dan teori-teori , melalui silogisme. Dalam silogisme induksi ini, premis-premis, selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak perbedaan model penelitian ini dengan model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh para filsuf-moralis ataupun teoritis-positivis untuk menemukan asas-asas umum hukum positif. Panelitian-penelitian doktrinal semacam ini selalu bertolak secara deduktif dari norma-norma yang kebenarannya bernilai formal dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan diverifikasi. Silogisme induksi digunakan untuk memperoleh simpulan-simpulan deskriptif atau eksplanatif tentang ada atau tidaknya hubungan antara berbagai variable sosial-hukum. Inilah pemikiran secara sosiologis.
Lain halnya apabila kita melihat cara berfikir seorang filosofis. Dalam berpikir, ia akan selalu mempertanyakan yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cara berfikir sosiologis akan memiliki cara pemahaman yang berbeda dengan cara berfikir orang awam dan seorang filosofis.

      Hukum dan Basis Sosialnya
Para ahli hukum yang membicarakan tentang basis social hukum adalah para sosiolog hukum, yang mengembangkan sosiologi hukumnya antara tahun 80-90-an hingga sekarang. Dalam perkembangannya tersebut, mereka dipengaruhi oleh Talcoot Parson dengan pemikiran post modernismenya.
Yang menjadi perhatian para ahli sosiologi hukum dalam membicarakan basis social hukum adalah pertautan secara sistematis antara hukum dengan struktur sosial yang mendukung. Mereka menganalisis bagaimana hukum yang berlaku dalam masyarakat itu cocok atau terjalin ke dalam jaringan interaksi sosial.
Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan masyarakat, hukum dituntut untuk merespon segala seluk-beluk kehidupan sosial yang melingkupinya. Itu berarti peranan hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema sosial yang timbul. Tidak cukup bila hukum hanya dipahami secara yuridis-normatif, yakni sebagai tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Hukum juga perlu diberi ruang untuk maksud studi-studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu sosial.
____________________
Sumber:

0 comments:

Posting Komentar