1) Kajian
Normatif (analitis-dogmatis)
Kajian
ini memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan
apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum dilakukan
antara lain pada ilmu hukum pidana positif, hukum tata negara positif, dan
hukum perdata positif. Dengan kata lain, kajian ini lebih mencerminkan law
in books. Dunianya adalah das sollen, apa yang seharusnya.
Kajian
hukum normatif ini lebih ditekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu
atau norma yang dinyatakan dalam undang-undang. Metode yang digunakan untuk
penelitian terhadap kajian ini adalah metode yuridis-normatif. Kajian
normatif ini merupakan kajian yang sangat menentukan puncak perkembangan hukum
sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai akibat kemajuan teknologi, industri,
perdagangan dan transportasi, terjadilah kekosongan besar dalam perdagangan.
Berdasarkan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat masif dan
melahirkan suatu orde baru dalam tatanan yang tidak ada tandingannya. Hal
inilah yang membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif,
positivistik, dan legalistik.
Menurut Satjipto Rahardjo,
metode normatif ini didasarkan pada hal di bawah ini.
1) Ada
penerimaan hukum positif sebagai suatu yang harus dijalankan
2) Hukum
dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan (problem solving device)
3) Partisipasi
sebagai subjek yang memihak hukum positif
4) Sikap
menilai atau menghakimi anggota masyarakat, berdasarkan hukum positif.
Kajian
normatif terhadap hukum ini dapat dilihat dari hal-hal berikut, yaitu adanya
infentarisasi hukum positif, penelitian asas hukum, menemukan hukum konkrit,
adanya sistematika hukum, adanya sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan
hukum serta sejarah hukum.
2) Kajian
filosofis (Metode Transendental)
Kajian
ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal,yang seyoganya
senantiasa menjadi rujukan dalam setaip pembentukan, pengaturan, dan
pelaksanaan kaidah hukum. Kajian ini lebih diperankan oleh kajian filsafat
hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam kajian hukum,
karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom,
melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Studi filsafat hukum ini telah
berumur lebih dari ribuan tahun. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan
oleh eksistensi dari tatanan itu sendiri. Tatanan merupakan isi lain dari
kehidupan bersama manusia, sebab manusia adalah makhluk tatanan.
Filsafat
hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari
hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum dan kebebasan, hukum dan
kekuasaan. (mengenai teori hukum). Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti
di bawah ini.
1. Ontologi
hukum merefleksikan hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental terkait, yaitu
demokrasi, hubungan hukum dengan orang.
2. Akseologi
hukum merefleksikan isi dan nilai yang termuat dalam hukum, yaitu kelayakan,
persamaan, keadilan, kebebasab dan kebenaran.
3. Ideologi
hukum, yang merefleksikan wawasan manusia dan masyarakat yang melegimitasi
hukum.
4. Epistemologi
hukum, yang merefleksikan sejauh mana pengetahuan tentang hukum dapat
dijalankan.
5. Teleologi
hukum, yang merefleksikan makna serta tujuan dari hukum.
6. Ajaran
ilmu, yang merefleksikan kriteria keilmuaan ilmu hukum.
7. Logika
hukum, yang merefleksikan aturan berfikir dalam hukum.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah
bagian dari filsafat umum. Oleh karena itu, setiap uraian tentang arti
(definisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu titik tolak
kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus mengetahui
terlebih dahulu filsafat secara umum.
Tujuan
utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari
hukum. Ini bararti, filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai tampilan atau
menifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Karna itu, filsafat hukum,
mengadaikan teori pengetahuan (epistemology) dan etika.
3) Kajian
Empiris
Kajian
ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup kenyataan social, kultur.
Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari peralihan
zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20, metode empiris ini lahir disebabkan karena
metode atau kajian hukum secara normative, tidak lagi mendapat tempat.
Pendekatan hukum melalui kajian empiris yang lahir di awal abad ke-20 ini bersamaan
lahirnya dengan ilmu baru yang oleh A. Comte (1798-1857) diberi nama sosiologi.
Olehnya, sosiologi disebut sebagai ilmu tentang tatanan sosial dan kemajuan
sosial.
Ketiga
pendekatan terhadap hukum itu, merupakan langkah awal bagi kita (hamba hukum)
untuk memahami apakah hukum itu? Berlainan dengan tiga pendekatan itu, namun
masih memiliki karakteristik yang sama, Achmad Ali dalam pidatonya
ketika menerima jabatan guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, memberikan suatu pencerahan terhadap pendekatan hukum sebagai
berikut.
Pertama,
beggriffenwissenchaft adalah ilmu tentang asas-asas yang fundamental
di bidang hukum, termasuk di dalamnya mata kuliah pengantar ilmu hukum,
filsafat hukum, logika hukum, dan teori hukum.Kedua, Normwissenchaft adalah
ilmu tentang norma, termasuk didalamnya adalah sebagian besar mata kuliah yang
diajarkan fakultas-fakultas hukum di Indonesia, seperti Hukum Pidana, Hukum
Perdata dan Hukum Tata Negara. Ketiga, Tatsachenwissenchaft adalah
tentang kenyataan hukum, termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Hukum &
Masyarakat, Antropologi Hukum dan Psikologi Hukum.
Dari
berbagai macam pendekatan terhadap hukum tersebut di atas, hukum dapat dapat
ditafsirkan sebagai sebuah konsep. Soetandyo Wigjosoebroto, mengatakan tak
ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebut dengan hukum itu. Menurut
pendapatnya, dalam sejarah pengkajian hukum, tercatat sekurang-kurangnya ada
tiga konsep. Pertama, hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau
asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren system hukum
alam. Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah positif yang
berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, sebagai produk eksplisit suatu
sumber kekuasan politik tertentu yang berlegitimasi. Ketiga, hukum
dikonsepkan sebagai institusi social yang riil dan fungsional dalam system
kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan dalam proses pemulihan
ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses pengarahan dan
pembentukan pola-pola perilaku yang baru.
Menuju
Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum
Abad
ke-19 ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad
tersebut menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat
idealitis. Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada abad ke-19 tersebut,
telah menimbulkan semangat serta sikap kritis terhadap masalah-masalah yang
tengah dihadapi. Kita mengetahui bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu baru
telah berkembang. Ilmu ini nantinya akan mampu membuka cakrawala baru dalam
sejarah umat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman
tradisional.
Pengaruh-pengaruh
dari perubahan abad ke-19 menurut Satjipto Rahardjo, telah memberikan pengaruh
terhadap cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai. Aliran
sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstrak
dan ideology kepada lingkungan social yang membentuk hukumnya. Pendekatan hukum
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mulai mendekatkan diri pada
hukum dengan masyarakat.
Perubahan
abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting bagi munculnya
sosiologi hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan
persoalan sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga
menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip kehidupan demokrasi. Kemapanan
kehidupan pada abad ke-19 yang penuh dengan kemajuan di banyak bidang bukanlah
akhir atau puncak peradaban manusia. Pada abad ini kodifikasi bukanlah akhir
dari perkembangan kehidupan hukum.
Sosiologi
hukum, merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan merupakan cabang
sosiologi terpenting, yang sampai sekarang masih dicari perumusannya. Hingga
saat ini, sosiologi hukum masih mempunyai batasan-batasan yang belum jelas,
ahli-ahlinya belum mempunyai kesepakatan mengenai pokok persoalan tentang apa
itu sosiologi hukum. Apa yang menyebabkan ilmu baru ini terhambat
perkembangannya. Menurut penulis, karena ilmu baru ini, dalam mempertahankan
hidupnya, harus bertempur di dua front. Sosiologi hukum menghadapi dua
kekuatan, yakni dari kalangan para ahli hukum dan ahli sosiologi, yang
terkadang keduanya bersatu untuk menggugat keabsahan sosiologi sebagai disiplin
yang berdiri sendiri. Perselisihan ini timbul, seperti yang telah dijelaskan
oleh David N. Schiif, yang mengutip dari Aubert.
Pemikiran
Hukum secara Sosiologis
Bertolak
dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat
semenjak perang dunia II. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh hal
dibawah ini.
1. Profesi
hukum, terutama para pengacara, ruang lingkup kerjanya kini semakin luas. Hal
itu disebabkan karena pihak-pihak yang memerlukan pelayanan hukum semakin
membesar jumlahnya, meliputi semua lapisan masyarakat (misalnya dengan
bidang-bidang bentuan hukum).
2. Hukum,
yang bagi kebanyakan orang, tidak lebih daripada sekumpulan undang-undang atau
peraturan-peraturan, kini telah berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan
baru karena ilmu hukum kini telah dikembangkan menjadi lebih sistematis serta
memiliki teknik penelitian, penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih rumit
Sebagai akibat dari perkembangan tersebut,
para ahli hukum akan bertemu dengan sejumlah permasalahan yang menuntut suatu
cara analisis yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan tradisional. Dengan
terciptanya beberapa hak tertentu dari beberapa kelompok, khusunya dalam
masyarakat, hukum akan berkaitan erat dengan masalah-masalah hubungan antar
bangsa, dengan konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan meningkatkan
intervensi (ikut campurnya) pemerintah di dalam pengaturan tata kehidupan.
Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu kesadaran diantara para ahli hukum
( kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai variasi dan tingkatan)
terhadap kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam pelayanan-pelayanan,
atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu hukum tradisional.
Hal tersebut di atas sudah lama dirasakan
melalui pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan, dan ketertiban
serta peraturannya, yang sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari
prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan itu muncul dari refleksi di kalangan
akademik, yang mengatakan bahwa prespektif dan metosa studi ilmu sosial berlaku
juga untuk menganalisis institusi hukum.
Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami
perubahan yang sangat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat
berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembagannya. Tak ayal lagi,
berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir ini
mulai banyak mengkaji dan meneliti sebab perubahan-perubahan sosial, dipanggil
untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat
relevan dengan permasalahan hukum.
Hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini
dapat dijadikan objek penelitian saintikfik (non-doktrinal). Hukum tidak lagi
dijadikan penggarap untuk menyususn sistem normatif yang koheren belaka, dengan
premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahan, atau dari sumber-sumber yang
ranahnya normatif.
Ciri metode yang sangat jelas dalam
penelitian non-doktrinal adalah menggunakan peran logika induksi untuk
menemukan asas-asas umum dan teori-teori , melalui silogisme. Dalam silogisme
induksi ini, premis-premis, selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi.
Di sinilah letak perbedaan model penelitian ini dengan model penelitian
doktrinal yang dikerjakan oleh para filsuf-moralis ataupun teoritis-positivis
untuk menemukan asas-asas umum hukum positif. Panelitian-penelitian doktrinal
semacam ini selalu bertolak secara deduktif dari norma-norma yang kebenarannya
bernilai formal dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran
materialnya selalu dipersoalkan dan diverifikasi. Silogisme induksi digunakan
untuk memperoleh simpulan-simpulan deskriptif atau eksplanatif tentang ada atau
tidaknya hubungan antara berbagai variable sosial-hukum. Inilah pemikiran
secara sosiologis.
Lain halnya apabila kita melihat cara
berfikir seorang filosofis. Dalam berpikir, ia akan selalu mempertanyakan yang
berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cara berfikir sosiologis
akan memiliki cara pemahaman yang berbeda dengan cara berfikir orang awam dan
seorang filosofis.
Hukum dan Basis Sosialnya
Para
ahli hukum yang membicarakan tentang basis social hukum adalah para sosiolog
hukum, yang mengembangkan sosiologi hukumnya antara tahun 80-90-an hingga
sekarang. Dalam perkembangannya tersebut, mereka dipengaruhi oleh Talcoot Parson dengan pemikiran post modernismenya.
Yang
menjadi perhatian para ahli sosiologi hukum dalam membicarakan basis social
hukum adalah pertautan secara sistematis antara hukum dengan struktur sosial
yang mendukung. Mereka menganalisis bagaimana hukum yang berlaku dalam
masyarakat itu cocok atau terjalin ke dalam jaringan interaksi sosial.
Apabila hukum tidak ingin dikatakan
tertinggal dari perkembangan masyarakat, hukum dituntut untuk merespon segala
seluk-beluk kehidupan sosial yang melingkupinya. Itu berarti peranan hukum
menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema sosial yang timbul.
Tidak cukup bila hukum hanya dipahami secara yuridis-normatif, yakni sebagai
tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Hukum juga perlu diberi ruang
untuk maksud studi-studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
ilmu sosial.
____________________
Sumber:
0 comments:
Posting Komentar