![]() |
Ilustrasi Gambar |
1.
Aliran Formalitis
Aliran
formalitis merupakan mahzab yang dikemukakan oleh John Austin dan Hans Kelsen.
Dalam masa kejayaan John Austin (1790-1859), tokoh yang satu ini mengemukakan
pendapatnya bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau dari mereka yang memegang kedaulatan. Austin juga mempertegas
pendapatnya bahwa hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur
manusia untuk berpikir. Dalam hal ini menyangkut perintah mana yang harus
dilakukan oleh makhluk berfikir yang memegang dan mempunyai/memegang kekuasaan.
Dalam
hal ini, Austin juga beranggapan bahwa hukum sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup. Austin membagi hukum menjadi dua bagian
yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum
yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a.
Hukum yang sebenarnya
Hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dibuat oleh penguasa
bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu-individu guna
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
b.
Hukum yang tidak sebenarnya
Hukum yang tidak sebenarnya bukanlah hukum yang secara langsung
berasal dari penguasa. Akan tetapi, merupakan produk hukum yang berisi
peraturan-peraturan yang disusun oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan
tertentu.
Sebagai tambahan, Hans Kelsen beranggapan bahwa suatu sistem hukum merupakan suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan itu dinamakan kaidah dasar atau groundnorm.
Sebagai tambahan, Hans Kelsen beranggapan bahwa suatu sistem hukum merupakan suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan itu dinamakan kaidah dasar atau groundnorm.
Kaidah
dasar tersebut merupakan dasar dari segenap penilaian yang bersifat yuridis
sehingga dimungkinkan ada di dalam suatu tertib hukum dari suatu negara-negara
berbeda dengan negara lainnya. Kelsen pun menyatakan bahwa hukum berdiri
sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Teorinya bertujuan
untuk menunjukkan seperti apakah hukum positif dan seperti apa pula yang bukan
merupakan hukum yang benar.
2.
Aliran Sejarah dan Kebudayaan
Aliran
ini dicetuskan oleh Friedrich Karl Von Savigny dan Sir Henry. Von Savigny
beranggapan bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat
(volksgeist). Pada dasarnya, hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan
yang berkembang dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum bukan
berasal dari pembuat undang-undang. Von Savigny menegaskan pendapatnya bahwa
sangat penting meneliti hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat
beserta sistem nilai-nilai di dalamnya.
Hal
lain yang menjadi pokok ajaran Von Savigny adalah penekanannya pada aspek
dinamis dari hukum yang diadakan pada sejarah hukum tersebut. Sementara, Sir
Henry mengemukkan pendapatnya bahwa hubungan-hubungan hukum yang didasarkan
pada status warga-warga masyarakat yang masih sederhana, berangsur-angsur akan
hilang jika masyarakat itu berkembang menjadi masyarakat yang modern dan
kompleks.
3.
Aliran Utilitarianisme
Tokoh
pembawa aliran utilitarianisme adalah Jeremy Betham dan Rudolph von Ihering.
Betham menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukum
menggunakan prinsip, yaitu, “bahwa manusia akan bertindak/melakukan sesuatu
untuk memperbanyak kebahagian dan mengurangi penderitaan.”
Sementara
ukuran nilai baik dan buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah
perbuatan tersebut mendatangkan kebahagiaan ataujustru sebaliknya. Betham juga
menegaskan bahwa pembentuk hukum harus menciptakan hukum yang adil bagi segenap
warga-warga masyarakat secara individual.
Di
sisi lain, Ihering dalam bukunya yang berjudul “Der Zweck in Recht” menganggap
bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untukmencapai tujuannnya.
Hukum ditegakkan sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu agar
tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat tempat mereka menjadi warganya.
4.
Aliran Sociological Jurisprudence
Eugen
Ehrlich dan Roscoe Pound adalah dua tokoh yang memprakasai adanya Aliran
Sosiological Jurispudence. Aliran ini berpokok pada pembedaan antara hukum
positif (ius constitutum) dengan hukum yang hidup (living law). Dikatakan Pound
bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat(culture patterns).
Menurutnya
Pound, pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan
legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum. Tata tertib
dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh
negara.
Sementara
itu Pound juga memberi pernyataan bahwa hukum harus dilihat atau dipandang
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial. Tugas dari ilmu hukum itu untuk memperkembangkan
suatu yang seimbang dengan kebutuhan-kebutuhan sosial hingga dapat terpenuhi
secara maksimal. Aliran ini mengajak masyarakat untuk mempelajari hukum sebagai
suatu proses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis.
Pembedaan
tersebut dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif
maupun hukum ajektif. Aliran sociological jurisprudence telah meninggalkan
pengaruh yang mendalam terutama pada pemikiran hukum di Amerika Serikat.
5.
Aliran Realisme Hukum
Aliran
yang dikemukakan oleh Karl Llewellyn, Jerome Frank dan J.O.W Holmes ini menitik
beratkan konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan cara menyatakan
bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum. Akan tetapi hakim juga dituntut
untuk bisa membentuk hukum. Keputusan-keputusan hakim seringkali mendahului
penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal.
Keputusan-keputusan
pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang
perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. J. Holmes menyatakan bahwa
kewajiban hukum hanyalah berupa praduga apabila seseorang berbuat atau tidak
berbuat. Hasil dari praduga tersebut diolah sedemikian rupa agar orang tersebut
mendapat hukuman sesuai dengan keputusan suatu pengadilan.
Sementara
itu, Karl Llewellyn lebih menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum yang
ada. Tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta dan rekonstruksi dari
kejadian-kejadian yang telah lampau yang menyebabkan terjadinya perselisihan.
_________________
Sumber:
Bimbie
0 comments:
Posting Komentar