Ilustrasi Gambar |
Apa yang membedakan antara kajian sosiologi hukum dan
kajian sosio-legal? Pertanyaan ini seringkali diajukan di dalam diskusi terkait
persoalan metodologi penelitian hukum. Untuk menjawab pertanyaan ini,
pertama-tama kita perlu telaah dulu objek kajian dari sosiologi hukum tersebut;
dan kapan kajian ini dapat dibawa ke arena yang lebih kompleks
menjadi telaahan interdisipliner sebagai kajian sosio-legal.
Sosiologi hukum adalah kajian sosiologis
tentang hukum. Jadi, kaca mata sosiologi hukum adalah kaca mata yang dikenakan
kaum sosiolog. Apabila objek kajian sosiologi itu dipersempit, maka objeknya
bisa dikerucutkan menjadi dua saja yang terpenting, yakni tentang struktur
sosial dan proses sosial. Sosiologi hukum, dengan demikian akan mempersoalkan
pengaruh timbal balik antara struktur sosial dan/atau proses sosial itu
terhadap hukum. Hukum di sini tidak dipandang sebagai norma tertinggi yang
memaksa dan tidak bisa dikalahkan, melainkan sekadar gejala sosial biasa yang
terbuka untuk dikompromikan. Hukum adalah gejala sosial dan gejala sosial yang
bernama hukum ini senantiasa berinteraksi dengan gejala sosial yang
lain. Struktur sosial merupakan gejala sosial yang bersegi statis,
sementara proses sosial bersegi dinamis. Berbagai istilah seperti norma
sosial, lembaga sosial, pranata sosial, kelompok sosial, lapisan sosial, adalah
contoh-contoh konsep penting terkait struktur sosial. Sementara itu, di dalam
proses sosial dibahas tentang pola-pola interaksi sosial yang dapat mengarah ke
bentuk asosiatif atau disasosiatif.
Sosiologi hukum berkhidmat pada ilmu-ilmu
empiris, yang memandang hukum sebagai pola perilaku (pattern of behavior) yang dideskripsikan secara
apa adanya. Sudut pandang ini tentu berbeda dengan optik yang digunakan
oleh para ahli hukum yang menjadi penstudi hukum dogmatis. Mereka tidak
melihat hukum sebagai pola-pola deskriptif, melainkan justru preskriptif. Oleh
sebab itu, bagi ahli hukum dogmatis yang meminati sosiologi hukum, ia akan
segera menemukan ada persoalan serius antara hukum deskriptif dan hukum
preskriptif itu. Persoalan ini berupa jurang hukum (legal gap), yang membentang antara hukum
senyatanya di lapangan dan hukum seyogianya di atas kertas.
Para penstudi hukum dogmatis yang meminati
kajian sosiologi dapat menggali lebih jauh faktor-faktor yang menjadi penyebab
munculnya jurang hukum tersebut. Faktor-faktor ini bisa berada di wilayah norma (pattern for behavior) dan/atau
di wilayah nomos (pattern of behavior). Untuk itu kajian hukum dogmatis
dan sosiologis perlu diintegrasikan, sehingga problematika yang diangkat pun
adalah permasalahan hukum yang kompleks, yang dapat muncul karena kombinasi dua
atau lebih persoalan norma dan nomos. Pada titik ini, kajian sosio-legal sudah
mulai menapaki langkah pertamanya.
Sebagai contoh, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia minimal untuk melangsungkan
perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. Di sisi lain, ada tuntutan yang
berkembang di masyarakat agar usia perkawinan untuk perempuan ini tidak lagi 16
tahun, melainkan 19 tahun, disesuaikan dengan batas usia untuk disebut dewasa,
baik untuk laki-laki maupun perempuan. Perdebatan tentang rumusan
normatif seperti ini tidak dapat diatasi oleh kaum dogmatika hukum. Bagi
mereka, sepanjang ketentuan tentang usia 16 tahun ini masih menjadi hukum
positif, maka ketentuan inilah yang benar dan layak dipertahankan. Ketentuan
ini bersifat self-evident. Tentu saja sikap seperti ini tidak
selamanya menarik untuk diambil. Penstudi hukum yang kritis akan melihat bahwa
ia tidak dapat lagi sepenuhnya berdalih untuk mempertahankan atau tidak
mempertahankan ketentuan usia 16 tahun ini, semata-mata karena hal ini ada
secara tekstual. Ia harus melengkapi jawaban tekstual itu dengan menjawabnya
secara kontekstual.
Secara tekstual, penstudi hukum ini tentu akan
berkutat pada interpretasi gramatikal dan otentik. Ia tentu boleh sedikit
menyeberang ke ranah metayuridis, dengan menelaah landasan filosofis di balik
teks itu, misalnya dengan menelaah latar belakang historis saat teks itu lahir
pada awal pembentukan aturan, atau “bertamasya” secara komparatif
mencari referensi aturan serupa di luar sistem hukum nasionalnya. Kajian-kajian
putusan pengadilan dan yurisprudensi (kendati sebenarnya kajian seperti inipun
sudah tidak lagi bisa disebut kajian tekstual murni karena telah terhubung ke
kasus-kasus konkret).
Secara kontekstual, penstudi hukum ini juga
mulai mengumpulkan data. Misalnya, ia mendapati di sebuah kabupaten
ada fenomena yang memperlihatkan anomali terhadap Undang-Undang
Perkawinan. Persentase perempuan yang kawin di bawah usia 16 tahun di
kabupaten itu ternyata makin meningkat dalam lima tahun terakhir. Data
kebalikannya justru terjadi di kabupaten tetangganya, yang menunjukkan
persentase perempuan yang kawin di bawah 16 tahun justru menurun drastis. Hanya
saja ada yang unik, bahwa walaupun perkawinan usia dini terbilang tinggi di
kabupaten pertama, angka perceraian yang terjadi pada pasangan-pasangan yang
kawin di usia dini itu justru rendah. Sementara di kabupaten kedua yang usia perkawinan
dininya tidak tinggi, ternyata angka perceraian pada pasangan-pasangan itu
malahan meningkat. Terhadap fenomena seperti ini, secara gampangan dapat
saja dimunculkan hipotesis bahwa pembatasan usia minimal perkawinan pada
perempuan di kabupaten pertama terbukti tidak efektif untuk menekan
praktik perkawinan usia dini, dan sebaliknya terjadi pada kabupaten kedua.
Juga ada hipotesis lain, yakni bahwa usia minimal
dalam perkawinan tidak berkorelasi dengan kelanggengan perkawinan pada
pasangan-pasangan itu.
Kalau begitu jawabannya: apakah tuntutan untuk
menaikkan batas usia minimal kawin masih relevan diajukan? Penstudi hukum
yang kritis ini tidak ingin berhenti sampai di situ. Melalui kajian
sosio-legal, ia berusaha menggali lebih jauh, mencari tahu faktor apa lagi
sebagai penyebab hadirnya gejala sosial yang berbeda di kedua kabupaten
itu. Benarkah ketentuan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan tersebut
masih relevan untuk dipertahankan dengan cukup berangkat dari anomali di kedua
kabupaten ini? Berbagai teori non-hukum dapat dikerahkan untuk membantu
menjawabnya, seperti teori dalam ilmu kedokteran, psikologi, kebudayaan,
ekonomi, agama, dan seterusnya.
Boleh jadi, ia kemudian mendapati bahwa
korelasi antara usia kawin dini dan risiko kelanggengan perkawinan
merupakan asumsi yang berlaku menurut teori psikologi dan ekonomi saja,
tetapi tidak berlaku menurut teori kebudayaan tertentu. Katakan bahwa di
kabupaten pertama, ternyata terdapat tata nilai yang dianut luas, yang sangat
menentang tindakan perceraian, sehingga setiap hubungan perkawinan akan dijaga
dengan sekuat tenaga dengan melibatkan dua keluarga besar pasangan itu. Agama
dan adat istiadat yang dianut oleh mayoritas penduduk di kabupaten ini juga
menganggap perceraian adalah aib keluarga dan dosa yang akan ditanggung sampai
lebih dari satu generasi. Tata nilai seperti ini, ternyata tidak
terdapat di kabupaten kedua. Secara ekonomis penduduk di kabupaten kedua
ini lebih sejahtera dan tingkat pendidikan rata-rata penduduknya juga lebih
tinggi. Kondisi inilah yang membuat usia perkawinan di kabupaten kedua ini
lebih tua daripada kabupaten pertama.
Berangkat dari temuan-temuan di lapangan ini,
penstudi hukum yang menggunakan pendekatan sosio-legal lalu membuat
kesimpulan-kesimpulan guna menjawab jurang hukum yang terjadi antara teks dan
konteks, antara norma dan nomos. Kesimpulan-kesimpulan yang disampaikannya
tidak hanya satu sisi, melainkan berangkat dari kajian mendalam terhadap teks
dan konteks sekaligus. Pada tahap ini, terjadilah apa yang oleh Brian Z.
Tamanaha (1997) disebut sebagai dinamika internal sosio-legal. Pada
tahap dinamika internal ini, sosiologi hukum tentu sangat berperan dalam
memperkaya kajian kontekstual, tetapi sebenarnya kajian sosio-legal tidak cukup
hanya mengandalkan bantuan cabang sosiologi tersebut. Kajian sosio-legal
membuka diri dan tidak pernah membatasi untuk menerima bantuan ilmu-ilmu lain,
termasuk dari ilmu eksak sekalipun! Ingat, bahwa kata “sosio” atau “socio” pada
kata “sosio-legal” di sini memang tidak mengacu pada sosiologi atau ilmu
sosial.
Kajian sosio-legal barulah disebut
lengkap apabila ia sampai pada tahap dinamika eksternal. Pada akhirnya
kajian ini harus dibawa dalam rangka mengkritisi formalisme hukum. Jadi,
penjelasan tentang jurang hukum antara teks dan konteks, harus diajukan demi
tujuan membuat rekomendasi untuk kepentingan “perbaikan” tekstualitas
hukum, dengan menyentuh ke aspek preskriptif dari hukum.
Secara metodologis, kontribusi sosio-legal
terhadap ilmu hukum terbilang sangat signifikan. Ada banyak varian metode
penelitian yang bisa ikut dilabel sebagai metode sosio-legal, seperti
hermeneutika, etnografi, analisis wacana, dan studi kasus. Dilihat dari sisi
ini kajian sosio-legal terbukti lebih dinamis dan kontemporer daripada
metodologi yang dipakai oleh sosiologi hukum. Namun, secara paradigmatik,
kajian sosio-legal harus diakui memiliki kecenderungan menjurus ke
kiri-kirian, yakni mengarah ke perspektif penganut realisme hukum, studi hukum
kritis, dan posmodernisme hukum. Padahal, dalam sosiologi, paradigmanya relatif
lebih beragam.
Dengan demikian, kajian sosio-legal tidak
identik dengan kajian sosiologi hukum. Kajian ini melampaui kajian sosiologi
hukum. Kajian ini secara sadar dibangun melalui pendekatan interdisipliner
terhadap permasalahan hukum (yang sosiologi hukum punya andil terlibat di
dalamnya), untuk kemudian hasilnya digunakan guna mengkritisi formalisme
hukum. Kajian sosio-legal memiliki tujuan pragmatis. Kajian ini termasuk dalam
kelompok kajian disiplin hukum atau ilmu hukum dalam arti luas.
________________________
Sumber:
SHIDARTA (September 2016)
0 comments:
Posting Komentar