![]() |
Ilustrasi Gambar |
Sengketa Tanah Studi Kasus Mesuji
Sengketa
tanah yang terjadi di Indosesia semakin meningkat seiring peningkatan kebutuhan
akan pengelolaan tanah dan lahan untuk pembangunan perumahan dan
industri. Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor
produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara
bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung
pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat
tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris
merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris
biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang
memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok
manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan
tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris
menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik.
Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat
pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi
dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami
pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan
yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan
kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri.
Pada
bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras
kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas
dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang
tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal
tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi
pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam
proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki
tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan
ekonomi dan kemiskinan politik.
Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah
berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui
UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program
transmigrasi
tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada
petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi
dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin
memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya
dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya.begitu pula dengan
kejadian di mesuji dan beberapa daerah di pulau sumatera.
PEMBAHASAN
1.Penyebab Insiden Mesuji
Permasalahan sengketa tanah yang berujung
kerusuhan disebabkan belum terjadinya harmonisasi birokrasi di tingkat daerah
dan pusat. Tragedi Mesuji dan Bima misalnya, membuktikan bahwa persoalan
sengketa tanah yang terjadi tidak diselesaikan secara tuntas. Bukan tak mungkin
serentetan bentrok aparat dengan pengunjuk rasa tersebut, justru memicu
terjadinya konflik serupa di daerah lain. Dimana sengketa tanah tersebut
sebagai ekses pelepasan lahan yang biasa dimanfaatkan masyarakat untuk mencari
penghidupan di lahan tersebut. Temuan awal menunjukkan konflik sengketa tanah
yang berujung pada bentrok yang menewaskan beberapa warga, dimana terindikasi
ada unsur pidananya. Rakyat, yang sehari-hari bekerja sebagai petani atau
petani penggarap, harus menghadapi kekerasan senjata, hanya karena mereka
hendak mempertahankan lahan garapannya. Petani, atau petani penggarap tidak
bermaksud memiliki lahan atau tanah yang ada tetapi hanya ingin mengelolah
tanah untuk menyambung hidup. Dari hasil Tim Pencari Fakta di lapangan
mengindikasi kalau perusahaan sekitar lahan telah membayar pihak kepolisian
untuk melakukan eksekusi sepihak.
Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta kasus Mesuji
Denny Indrayana, yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengatakan, timnya menemukan data dan bukti-bukti yang mengarah kepada
persoalan hak asasi manusia dalam kasus di Register 45 dan Desa Sri Tanjung di
Provinsi Lampung, serta Desa Sodong di Provinsi Sumatera Selatan.
Atas temuan ini, TPGF akan melakukan
koordinasi dengan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia. “Kami akan
memastikan persoalan HAM terkait pendampingan hukum, persoalan HAM soal kesehatan,
HAM soal pendidikan, dan juga kependudukan, akan dituntaskan,” kata Denny pada
jumpa pers di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Senin
(2/1/2012).
Sebelum menggelar jumpa pers, TPGF terlebih
dahulu melakukan rapat yang dipimpin Menko Polhukam Djoko Suyanto. Turut hadir
dalam rapat tersebut, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Kehutanan
Zulkifli Hasan, dan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo.
Pada
jumpa pers tersebut, TGPF memaparkan lima temuan awal dan enam rekomendasi awal
setelah bekerja setelah dua minggu. Temuan pertama adalah
adanya sengketa lahan antara warga dengan perusahaan. Kedua,
sengketa lahan sudah terjadi dalam proses yang cukup lama. Sengketa ini
menimbulkan korban jiwa, korban luka, dan kerugian material.
Ketiga, kata Denny, TGPF akan melakukan mendalaman dan
koordinasi yang lebih erat terkait jatuhnya korban di Desa Sri Tanjung dan Desa
Sodong. “Keempat, kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah itu
memang terdiri dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan aparat
keamanan dengan tingkat detail keterlibatan berbeda-beda,” kata Denny.
Sementara
itu, temuan kelima adalah jumlah korban di tiga lokasi yang
mencapai 9 orang. Ini terjadi dalam kurun periode 2010-2011. Di Register 45 dan
Desa Sri Tanjung, masing-masing ada satu korban meninggal bernama Made Aste dan
Djaelani. Sementara itu, di Sodong, ada tujuh korban meninggal. Ketujuhnya
adalah Saktu, Indra Syafei, Hardi, Hambali, Sabar, Saimun, dan Agus Manto.
Pada
kesempatan itu, Denny juga memaparkan enam rekomendasi awal. Pertama,
mendorong percepatan proses hukum atas pelaku, utamanya yang menyebabkan
jatuhnya korban jiwa. Kedua, memberikan bantuan hukum kepada para
tersangka agar proses hukumnya berjalan adil, serta mengupayakan perlindungan
saksi pelapor dan korban. Ketiga, memberikan bantuan pengobatan
penuh kepada korban yang masih menjalani perawatan.
Kemudian,
rekomendasi keempat adalah mengantisipasi kemungkinan adanya
penyebaran tenda di wilayah yang sedang mengalami masalah. “Kelima,
melakukan penegakan hukum kepada para spekulan tanah yang memanfaatkan situasi,
khususnya di Register 45. Keenam, terkait penggunaan pengamanan
swasta, perlu dilakukan evaluasi dan kualitas kerjanya,” kata Denny.
2. Kejadian Mesuji dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Meski bukti rekaman video atas kasus tanah
desa Mesuji Lampung di Komisi III DPR masih menjadi perdebatan tentang keaslian
video baik lokasi dan kejadian, yang tidak bisa disangkal lagi adalah adanya
permasalahan tanah masyarakat adat khususnya di desa masyarakat adat Mesuji.
Cultural shock demikian kata sosiolog hukum
Prof. Satjipto Rahardjo dinamakan masyarakat Sabu di dalam disertasinya Bernard
L, dinyatakan masyarakat Sabu tahun 1970-an sangat heran dengan adanya aparat
kepolisian dan lembaga kejaksaan dalam menyelesaikan kasus pidana , masyarakat
Sabu menyelesaikan kasusnya dengan kearifan lokal dan kebiasaan adat yang telah
bertahun.
Kiranya masyarakat adat Mesuji harus
terkaget-kaget dengan tiba-tiba tanah adat ( menurut mereka tanah ulayat atau
tanah ibu ) diambil secara sepihak oleh swasta yang mendapatkan ijin dari
Instansi Kehutanan qq Badan Pertanahan Nasional. Dengan berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tanah adat ( tanah ulayat ) telah
dimarjinalkan lewat perangkat formalistik.
Tanah adat ulayat yang diakui undang-undang
harus memenuhi persyaratan undang-undang. Oleh produk undang-undang yang sangat
formalistik dan legalistik sangat jauh panggang dari api oleh masyarakat adat.
Satjipto menyebutnya saat ini sudah berkembang soal “kejahatan legislatif”
artinya, semua tanah jika akan diakui harus mengurus surat yang biayanya dapat
lebih tinggi dari keberadaan tanah itu.
Oleh karena itu, berlakunya UU No 5 Tahun 79
merupakan pukulan telak bagi masyarakat adat, dengan adanya desa.
Perlu rekonstruksi UUPA untuk melidungi
masyarakat adat yang masih mengelola dan menggarap tanahnya , dengan memberikan
pengakuan karena kejadian serupa akan berlanjut pada masyarakat adat khususnya
pada daerah yang prospektif seperti di Papua , Maluku dan Sulawesi.
Kearifan lokal masyarakat adat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keseimbangan alam dan keharmonisan dalam berkehidupan
sehingga memberikan sinergi dengan keberadaan masyarakat adat , menjadi
terganggu dengan aturan aturan yang sangat formalistik dan legalistik sehingga
timbul benturan antara kearifan lokal dan aturan yang legalistik. Masih ingat
perjuangan Masyarakat Sikep Jawa Tengah, dalam memperjuangkan untuk
menggagalkan rencana eksploitasi Gunung Kendeng harus berakhir di jeruji besi.
Mereformasi Pengertian Masyarakat adat setelah
diredam selama rezim Soeharto dengan kepentingan masyarakat sebesar-besar dan
kemakmuran maka pemerintah dapat menguasai apa saja yang dikehendaki.
Pengertian menguasai itulah yang perlu
direformasi. Pemerintah menguasai pengertiannya tidak dengan seenaknya
mengelola dan membagikan untuk kepentingan investasi semata, namun harus
menghormati dan melindungi masyarakat adat.
Pula harus direkonstruksi tentang tanah
ulayat, pengertian tanah ulayat milik masyarakat adat harus diberikan legalitas
sesuai undang-undang disini pengakuan masyarakat adat harus diatur oleh perda,
padahal tanpa perda masyarakat adat yang masih menguasai dan mengelola tanah
ulayat tanpa perlu peraturan yang legalistik dan formalistik.
Mengapa? karena dalam membuat perda tentang
Tanah Ulayat perlu persyaratan-persyaratan yang bisa membingungkan bagi
masyarakat adat.
Pemerintah harus tegas dalam menyikapi masalah
ini, jangan karena kepentingan ekonomi dengan memberikan kemudahan bagi para
investor maka dengan mudah memberikan ijin termasuk didalamnya instansi
Kehutanan dan Pertambangan.
Kedua instansi inilah yang sangat memanfaatkan
keleluasaan pengertian dalam UUPA dialah seolah-olah yang sangat berkuasa dan
sebagai penguasa atas tanah yang dianggap ekonomis untuk kepentingan investasi
pada suatu daerah. Demikian juga pemda dalam memberikan ijin untuk melakukan
investasi dan pengelolaan tanah dengan memanfaatkan pengertian UUPA bahwa
pemerintah “menguasaai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”bukan berarti
memiliki , pengertian inilah yang perlu direkonstruksi pemerintah hanya
mengelola secara administrasi, dengan memperhatikan hak-hak, penggarap
sebelumnya.
Yang berikut adalah merekonstruksi UUPA dengan
memberikan perlindungan masyarakat, yaitu hal mengalihkan hak atas tanah maka
perlu pengakuan kepada masyarakat yang mengelola atau menggarap. Penerapan
hukum yang sangat formalistik legalistik kepada masyarakat adat menjadi sangat
problematik. Masih ingat tulisan Lev yang sangat Indonesianis tahun 70 an watak
liberal dari hukum modern sangat dirasakan sebagai beban bagi masyarakat yang
didasarkan pada kolektivisme, masih layak sebagai referensi bagi legislatif dan
eksekutif agar dalam mengambil keputusan tidak menjumpai benturan berulang.
Jika pemerintah berdalih untuk kepentingan
pembangunan dibidang ekonomi (berkedok kesejahteraan rakyat-red ), maka
Pemerintah bersegera mengambil langkah Hak Ulayat tanah Minangkabau sebagai
model, karena dengan memberikan atau mengembalikan hak masyarakat hukum adat
dengan tanah ulayatnya , maka masyarakat adat dapat terlibat langsung dalam
pembangunan ekonomi baik pertambangan dan perkebunan dengan : “tanah ulayat
sebagai inbreng pemegang saham” pada perseroan swasta yang berminat investasi ,
dengan pola itulah pemerintah berpihak serta melindungi pemilik tanah sekaligus
melindungi investor dengan memberikan kepastian hukum. Semoga. Adanya standar
ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok
Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan
dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari
undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat
undang-undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang
Pokok Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok
Kehutanan. Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi
kepentingan sektoral, dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan
rakyat demi melindungi kepentingan departemen/sektoral masing-masing. Penghuni
hutan bisa dipindahkan (terkadang secara paksa/terpaksa) untuk meninggalkan
hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Departemen
Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal
dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
Berbagai mandat telah menorehkan akan pentingnyah
tanah yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan
bangsa indonesia, sehingga hubungan bangsa indonesia dengan tanah sangat abadi.
Hubungan bangsa indonesia dengan tanah yang merupakan kekayaan nasional sangat
menentukan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, berkelanjutan dan harmoni bagi
bangsa dan Negara Indonesia.
PENUTUP
TGPF
memaparkan lima temuan awal dan enam rekomendasi awal setelah bekerja setelah
dua minggu. Temuan pertama adalah adanya sengketa lahan
antara warga dengan perusahaan. Kedua, sengketa lahan sudah
terjadi dalam proses yang cukup lama. Sengketa ini menimbulkan korban jiwa,
korban luka, dan kerugian material.
Ketiga, kata Denny, TGPF akan melakukan mendalaman dan
koordinasi yang lebih erat terkait jatuhnya korban di Desa Sri Tanjung dan Desa
Sodong. “Keempat, kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah itu
memang terdiri dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan aparat
keamanan dengan tingkat detail keterlibatan berbeda-beda,” kata Denny.
Sementara
itu, temuan kelima adalah jumlah korban di tiga lokasi yang
mencapai 9 orang. Ini terjadi dalam kurun periode 2010-2011. Di Register 45 dan
Desa Sri Tanjung, masing-masing ada satu korban meninggal bernama Made Aste dan
Djaelani. Sementara itu, di Sodong, ada tujuh korban meninggal. Ketujuhnya
adalah Saktu, Indra Syafei, Hardi, Hambali, Sabar, Saimun, dan Agus Manto.
Pada
kesempatan itu, Denny juga memaparkan enam rekomendasi awal. Pertama,
mendorong percepatan proses hukum atas pelaku, utamanya yang menyebabkan
jatuhnya korban jiwa. Kedua, memberikan bantuan hukum kepada para
tersangka agar proses hukumnya berjalan adil, serta mengupayakan perlindungan
saksi pelapor dan korban. Ketiga, memberikan bantuan pengobatan
penuh kepada korban yang masih menjalani perawatan.
Kemudian,
rekomendasi keempat adalah mengantisipasi kemungkinan adanya
penyebaran tenda di wilayah yang sedang mengalami masalah. “Kelima,
melakukan penegakan hukum kepada para spekulan tanah yang memanfaatkan situasi,
khususnya di Register 45. Keenam, terkait penggunaan pengamanan
swasta, perlu dilakukan evaluasi dan kualitas kerjanya,” kata Denny. Tentunya
untuk mengatasi berbagai sengketa tanah yang terus meningkat dan meluas maka
diperlukan kerjasama empat instansi kementerian dalam negeri,kementerian
kehutanan,kementerian pertanian, kementerian pertambangan dan Badan Pertahanan
Nasional serta pihak kepolisian untuk merumuskan langkah-langkah yang tepat
untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, aturan tentang ke agrarian sering
bentrok dengan UUPA. Inti dari semua mandat dan aturan mewujudkan tanah untuk
keadilan dan kesejahteraan rakyat.
___________________________
Sumber:
0 comments:
Posting Komentar