HELLO FELLAS

HELLO FELLAS

Jumat, 25 Mei 2018

Sengketa Tanah dalam tinjauan Sosiologi Hukum (Artikel Bebas ke-IX Sosiologi Hukum)

Ilustrasi Gambar

Sengketa Tanah Studi Kasus Mesuji
Sengketa tanah yang terjadi di Indosesia semakin meningkat seiring peningkatan kebutuhan akan pengelolaan tanah dan lahan untuk  pembangunan perumahan dan industri. Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik.
Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri.
Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik.
Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi
tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya.begitu pula dengan kejadian di mesuji dan beberapa daerah di pulau sumatera.
PEMBAHASAN
1.Penyebab Insiden Mesuji
Permasalahan sengketa tanah yang berujung kerusuhan disebabkan belum terjadinya harmonisasi birokrasi di tingkat daerah dan pusat. Tragedi Mesuji dan Bima misalnya, membuktikan bahwa persoalan sengketa tanah yang terjadi tidak diselesaikan secara tuntas. Bukan tak mungkin serentetan bentrok aparat dengan pengunjuk rasa tersebut, justru memicu terjadinya konflik serupa di daerah lain. Dimana sengketa tanah tersebut sebagai ekses pelepasan lahan yang biasa dimanfaatkan masyarakat untuk mencari penghidupan di lahan tersebut. Temuan awal menunjukkan konflik sengketa tanah yang berujung pada bentrok yang menewaskan beberapa warga, dimana terindikasi ada unsur pidananya. Rakyat, yang sehari-hari bekerja sebagai petani atau petani penggarap, harus menghadapi kekerasan senjata, hanya karena mereka hendak mempertahankan lahan garapannya. Petani, atau petani penggarap tidak bermaksud memiliki lahan atau tanah yang ada tetapi hanya ingin mengelolah tanah untuk menyambung hidup. Dari hasil Tim Pencari Fakta di lapangan mengindikasi kalau perusahaan sekitar lahan telah membayar pihak kepolisian untuk melakukan eksekusi sepihak.
Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta kasus Mesuji Denny Indrayana, yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengatakan, timnya menemukan data dan bukti-bukti yang mengarah kepada persoalan hak asasi manusia dalam kasus di Register 45 dan Desa Sri Tanjung di Provinsi Lampung, serta Desa Sodong di Provinsi Sumatera Selatan.
Atas temuan ini, TPGF akan melakukan koordinasi dengan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia. “Kami akan memastikan persoalan HAM terkait pendampingan hukum, persoalan HAM soal kesehatan, HAM soal pendidikan, dan juga kependudukan, akan dituntaskan,” kata Denny pada jumpa pers di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Senin (2/1/2012).
Sebelum menggelar jumpa pers, TPGF terlebih dahulu melakukan rapat yang dipimpin Menko Polhukam Djoko Suyanto. Turut hadir dalam rapat tersebut, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo.
Pada jumpa pers tersebut, TGPF memaparkan lima temuan awal dan enam rekomendasi awal setelah bekerja setelah dua minggu. Temuan pertama adalah adanya sengketa lahan antara warga dengan perusahaan. Kedua, sengketa lahan sudah terjadi dalam proses yang cukup lama. Sengketa ini menimbulkan korban jiwa, korban luka, dan kerugian material.
Ketiga, kata Denny, TGPF akan melakukan mendalaman dan koordinasi yang lebih erat terkait jatuhnya korban di Desa Sri Tanjung dan Desa Sodong. “Keempat, kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah itu memang terdiri dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan aparat keamanan dengan tingkat detail keterlibatan berbeda-beda,” kata Denny.
Sementara itu, temuan kelima adalah jumlah korban di tiga lokasi yang mencapai 9 orang. Ini terjadi dalam kurun periode 2010-2011. Di Register 45 dan Desa Sri Tanjung, masing-masing ada satu korban meninggal bernama Made Aste dan Djaelani. Sementara itu, di Sodong, ada tujuh korban meninggal. Ketujuhnya adalah Saktu, Indra Syafei, Hardi, Hambali, Sabar, Saimun, dan Agus Manto.
Pada kesempatan itu, Denny juga memaparkan enam rekomendasi awal. Pertama, mendorong percepatan proses hukum atas pelaku, utamanya yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Kedua, memberikan bantuan hukum kepada para tersangka agar proses hukumnya berjalan adil, serta mengupayakan perlindungan saksi pelapor dan korban. Ketiga, memberikan bantuan pengobatan penuh kepada korban yang masih menjalani perawatan.
Kemudian, rekomendasi keempat adalah mengantisipasi kemungkinan adanya penyebaran tenda di wilayah yang sedang mengalami masalah. “Kelima, melakukan penegakan hukum kepada para spekulan tanah yang memanfaatkan situasi, khususnya di Register 45. Keenam, terkait penggunaan pengamanan swasta, perlu dilakukan evaluasi dan kualitas kerjanya,” kata Denny.
2. Kejadian Mesuji dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Meski bukti rekaman video atas kasus tanah desa Mesuji Lampung di Komisi III DPR masih menjadi perdebatan tentang keaslian video baik lokasi dan kejadian, yang tidak bisa disangkal lagi adalah adanya permasalahan tanah masyarakat adat khususnya di desa masyarakat adat Mesuji.
Cultural shock demikian kata sosiolog hukum Prof. Satjipto Rahardjo dinamakan masyarakat Sabu di dalam disertasinya Bernard L, dinyatakan masyarakat Sabu tahun 1970-an sangat heran dengan adanya aparat kepolisian dan lembaga kejaksaan dalam menyelesaikan kasus pidana , masyarakat Sabu menyelesaikan kasusnya dengan kearifan lokal dan kebiasaan adat yang telah bertahun.
Kiranya masyarakat adat Mesuji harus terkaget-kaget dengan tiba-tiba tanah adat ( menurut mereka tanah ulayat atau tanah ibu ) diambil secara sepihak oleh swasta yang mendapatkan ijin dari Instansi Kehutanan qq Badan Pertanahan Nasional. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tanah adat ( tanah ulayat ) telah dimarjinalkan lewat perangkat formalistik.
Tanah adat ulayat yang diakui undang-undang harus memenuhi persyaratan undang-undang. Oleh produk undang-undang yang sangat formalistik dan legalistik sangat jauh panggang dari api oleh masyarakat adat. Satjipto menyebutnya saat ini sudah berkembang soal “kejahatan legislatif” artinya, semua tanah jika akan diakui harus mengurus surat yang biayanya dapat lebih tinggi dari keberadaan tanah itu.
Oleh karena itu, berlakunya UU No 5 Tahun 79 merupakan pukulan telak bagi masyarakat adat, dengan adanya desa.
Perlu rekonstruksi UUPA untuk melidungi masyarakat adat yang masih mengelola dan menggarap tanahnya , dengan memberikan pengakuan karena kejadian serupa akan berlanjut pada masyarakat adat khususnya pada daerah yang prospektif seperti di Papua , Maluku dan Sulawesi.
Kearifan lokal masyarakat adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan alam dan keharmonisan dalam berkehidupan sehingga memberikan sinergi dengan keberadaan masyarakat adat , menjadi terganggu dengan aturan aturan yang sangat formalistik dan legalistik sehingga timbul benturan antara kearifan lokal dan aturan yang legalistik. Masih ingat perjuangan Masyarakat Sikep Jawa Tengah, dalam memperjuangkan untuk menggagalkan rencana eksploitasi Gunung Kendeng harus berakhir di jeruji besi.
Mereformasi Pengertian Masyarakat adat setelah diredam selama rezim Soeharto dengan kepentingan masyarakat sebesar-besar dan kemakmuran maka pemerintah dapat menguasai apa saja yang dikehendaki.
Pengertian menguasai itulah yang perlu direformasi. Pemerintah menguasai pengertiannya tidak dengan seenaknya mengelola dan membagikan untuk kepentingan investasi semata, namun harus menghormati dan melindungi masyarakat adat.
Pula harus direkonstruksi tentang tanah ulayat, pengertian tanah ulayat milik masyarakat adat harus diberikan legalitas sesuai undang-undang disini pengakuan masyarakat adat harus diatur oleh perda, padahal tanpa perda masyarakat adat yang masih menguasai dan mengelola tanah ulayat tanpa perlu peraturan yang legalistik dan formalistik.
Mengapa? karena dalam membuat perda tentang Tanah Ulayat perlu persyaratan-persyaratan yang bisa membingungkan bagi masyarakat adat.
Pemerintah harus tegas dalam menyikapi masalah ini, jangan karena kepentingan ekonomi dengan memberikan kemudahan bagi para investor maka dengan mudah memberikan ijin termasuk didalamnya instansi Kehutanan dan Pertambangan.
Kedua instansi inilah yang sangat memanfaatkan keleluasaan pengertian dalam UUPA dialah seolah-olah yang sangat berkuasa dan sebagai penguasa atas tanah yang dianggap ekonomis untuk kepentingan investasi pada suatu daerah. Demikian juga pemda dalam memberikan ijin untuk melakukan investasi dan pengelolaan tanah dengan memanfaatkan pengertian UUPA bahwa pemerintah “menguasaai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”bukan berarti memiliki , pengertian inilah yang perlu direkonstruksi pemerintah hanya mengelola secara administrasi, dengan memperhatikan hak-hak, penggarap sebelumnya.
Yang berikut adalah merekonstruksi UUPA dengan memberikan perlindungan masyarakat, yaitu hal mengalihkan hak atas tanah maka perlu pengakuan kepada masyarakat yang mengelola atau menggarap. Penerapan hukum yang sangat formalistik legalistik kepada masyarakat adat menjadi sangat problematik. Masih ingat tulisan Lev yang sangat Indonesianis tahun 70 an watak liberal dari hukum modern sangat dirasakan sebagai beban bagi masyarakat yang didasarkan pada kolektivisme, masih layak sebagai referensi bagi legislatif dan eksekutif agar dalam mengambil keputusan tidak menjumpai benturan berulang.
Jika pemerintah berdalih untuk kepentingan pembangunan dibidang ekonomi (berkedok kesejahteraan rakyat-red ), maka Pemerintah bersegera mengambil langkah Hak Ulayat tanah Minangkabau sebagai model, karena dengan memberikan atau mengembalikan hak masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya , maka masyarakat adat dapat terlibat langsung dalam pembangunan ekonomi baik pertambangan dan perkebunan dengan : “tanah ulayat sebagai inbreng pemegang saham” pada perseroan swasta yang berminat investasi , dengan pola itulah pemerintah berpihak serta melindungi pemilik tanah sekaligus melindungi investor dengan memberikan kepastian hukum. Semoga. Adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang-undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok Kehutanan. Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi kepentingan sektoral, dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi kepentingan departemen/sektoral masing-masing. Penghuni hutan bisa dipindahkan (terkadang secara paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
Berbagai mandat telah menorehkan akan pentingnyah tanah yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa indonesia, sehingga hubungan bangsa indonesia dengan tanah sangat abadi. Hubungan bangsa indonesia dengan tanah yang merupakan kekayaan nasional sangat menentukan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, berkelanjutan dan harmoni bagi bangsa dan Negara Indonesia.
PENUTUP
TGPF memaparkan lima temuan awal dan enam rekomendasi awal setelah bekerja setelah dua minggu. Temuan pertama adalah adanya sengketa lahan antara warga dengan perusahaan. Kedua, sengketa lahan sudah terjadi dalam proses yang cukup lama. Sengketa ini menimbulkan korban jiwa, korban luka, dan kerugian material.
Ketiga, kata Denny, TGPF akan melakukan mendalaman dan koordinasi yang lebih erat terkait jatuhnya korban di Desa Sri Tanjung dan Desa Sodong. “Keempat, kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah itu memang terdiri dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan aparat keamanan dengan tingkat detail keterlibatan berbeda-beda,” kata Denny.
Sementara itu, temuan kelima adalah jumlah korban di tiga lokasi yang mencapai 9 orang. Ini terjadi dalam kurun periode 2010-2011. Di Register 45 dan Desa Sri Tanjung, masing-masing ada satu korban meninggal bernama Made Aste dan Djaelani. Sementara itu, di Sodong, ada tujuh korban meninggal. Ketujuhnya adalah Saktu, Indra Syafei, Hardi, Hambali, Sabar, Saimun, dan Agus Manto.
Pada kesempatan itu, Denny juga memaparkan enam rekomendasi awal. Pertama, mendorong percepatan proses hukum atas pelaku, utamanya yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Kedua, memberikan bantuan hukum kepada para tersangka agar proses hukumnya berjalan adil, serta mengupayakan perlindungan saksi pelapor dan korban. Ketiga, memberikan bantuan pengobatan penuh kepada korban yang masih menjalani perawatan.
Kemudian, rekomendasi keempat adalah mengantisipasi kemungkinan adanya penyebaran tenda di wilayah yang sedang mengalami masalah. “Kelima, melakukan penegakan hukum kepada para spekulan tanah yang memanfaatkan situasi, khususnya di Register 45. Keenam, terkait penggunaan pengamanan swasta, perlu dilakukan evaluasi dan kualitas kerjanya,” kata Denny. Tentunya untuk mengatasi berbagai sengketa tanah yang terus meningkat dan meluas maka diperlukan kerjasama empat instansi kementerian dalam negeri,kementerian kehutanan,kementerian pertanian, kementerian pertambangan dan Badan Pertahanan Nasional serta pihak kepolisian untuk merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, aturan tentang ke agrarian sering bentrok dengan UUPA. Inti dari semua mandat dan aturan mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
___________________________
Sumber:

0 comments:

Posting Komentar